Rabu, 18 Mei 2011
Truk Dilarang Masuk Tol, Kemacetan Susut 40%
Truk dan kontainer dilarang masuk tol. Memuaskan. Mobil lebih melaju. Aturan resmi segera.
Uji coba itu sudah sepekan. Semua kendaraan berat dilarang masuk tol dalam kota. Kontainer maupun truk. Mereka diminta melewati lingkar luar jika ingin bepergian. Hasilnya memuaskan. Warga kota Jakarta sepekan belakangan melaju lebih lancar ketimbang hari-hari sebelumnya. Merayap di jalan tol. "Selama sepekan ini kondisi tol dalam kota sangat kondusif," kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisari Besar Royke Lumowa kepada VIVAnews.com, Selasa 17 Mei 2011.
Percobaan sepekan itu adalah cara pemerintah DKI Jakarta mencari jalan keluar dari kemacetan tol yang belakangan kian menggila. Jangka waktu percobaan itu sebulan. Jika dalam tiga pekan ke depan, perkembangannya membaik, maka larangan bagi truk dan kontainer itu bisa terus berlaku. Dipatenkan.
Hitung-hitungan sementara memang tampaknya memuaskan. Lihatlah hasil evaluasi Dinas Perhubungan DKI berikut ini. Selama sepekan ini, begitu hasil evaluasi itu, kemacetan di tol dalam kota arah Cawang menuju Tomang berkurang 40 persen. Pengurangan terjadi di 11 ruas tol dan jalur arteri Cakung- Cilincing.
Perkembangan itu tentu saja mengembirakan masyarakat luas di Jakarta. Maklum jumlah kendaraan berat yang lewat saban hari memang cukup banyak. Tol dalam kota dari Cawang tujuan Tomang misalnya, saban hari dilewat 4.013 kendaraan. Dari jumlah itu, 1.404 adalah truk dan kontainer.
Dengan peraturan baru itu, maka lebih dari 25 persen beban berkurang. Meski belum diketahui apakah setelah peraturan baru itu, jumlah kendaraan yang lewat jalan tol itu susut atau bertambah. Kemungkinan bertambah bisa terjadi, jika kendaraan yang semula lewat arteri masuk tol, setelah melihat tol agak lancar.
Susut atau bertambah, faktanya adalah selama sepekan ini tol dalam kota lebih lancar. Kendaraan juga bisa melaju lebih cepat dari biasanya. Dari Cawang menuju Tomang, misalnya, kecepakatan kendaraan menjadi 38,09 kilomter per jam. Padahal sebelumnya rata-rata 13 kilomter per jam. Antrean kendaraan di ruas jalan Slipi juga berkurang.
Kecepatan rata-rata kendaraan yang melewati 11 ruas jalan tol dalam kota dan arteri Cakung-Cilincing sekitar 19,24 kilometer per jam. Pengurangan volume kendaraan di ruas jalan tol itu juga dirasa sangat signifikan. Truk dan kontainer yang jalannya lambat memang kerap kali menahan laju kendaraan di belakangnya.
Ratusan Petugas Dikerahkan
Royke Lumowa menegaskan bahwa jika percobaan dalam kota ini sukses, berikutnya adalah bagaimana mengurangi kamacetan di pinggir ibukota. Seperti kawasan Serpong dan Cilincing. Tetapi menyisir ke pinggiran itu dilakukan, jika aturan soal larangan truk dan kontainer dalam kota itu sudah dipatenkan. Dituangkan dalam peraturan resmi.
Sambil menunggu keputusan resmi itu, lanjutnya, percobaan itu akan diperpanjang. Kepolisian optimis dengan aturan baru itu, kemacetan bisa sedikit diurai.
"Kalau tidak optimis mengapa harus di uji coba. Kita punya anggapan itu bisa, dengan kajian tentu akan berhasil. Draf aturan itu sudah ada dan tinggal disahkan saja," ujar Royke.
Keputusan resmi dari pemerintah daerah memang sungguh diperlukan. Sebab itulah senjata petugas di lapangan dalam menerapkan peraturan ini. Selama ini, kata Royke, polisi belum memberi sanksi kepada truk dan kontainer yang melanggar.
Yang dilakukan kepolisian adalah menghela sebanyak mungkin personel ke jalan. Membantu pengaturan lalu lintas dan pengalihan truk dan kontainer itu. "Belum ada sanksi, dan rambu juga belum dipasang. Penambahan petugas dilakukan untuk mengatur pengalihan kendaraan berat," ujarnya.
Uji coba pertama pembatasan kendaraan berat itu sebelumnya dilakukan saat pelaksanaan KTT Asean di DKI Jakarta. Kendaraan berat tidak perbolehkan melalui jalan Tol Dalam Kota ruas Cawang-Tomang pada pukul 05.00-22.00 WIB. Ternyata ujicoba tersebut berhasil, efektif dan efisien dalam memperlancar arus lalu lintas.
"Karena itu uji coba kedua dilakukan lagi selama sebulan penuh. Kecepatan kendaraan meningkat, apalagi dengan penambahan tiga ruas tol lainnya yang diatur, maka kecepatan kendaraan akan semakin meningkat," katanya lagi.
Ruas jalan tol dalam kota yang tidak boleh dilintasi kendaraan berat tidak hanya di jalan tol Cawang - Tomang, tetapi ditambah di ruas Cikunir - Cawang, ruas Cawang-Tanjung Priok, dan ruas Pasar Rebo - Cawang.
Pembatasan truk dan kontainer itu memang diprotes Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) di DKI Jakarta. Karena jalan yang mereka tempuh harus memutar. Tapi demi kepentingan warga yang lebih besar, pemerintah DKI memilih cara pembatasan itu.
Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya juga terus melakukan pendekatan kepada pengurus Organda. Apapun kebijakan yang dibuat pemerintah, kata Royke, memang tidak selalu menyenangkan seluruh pihak. Kepolisian, lanjutnya, akan terus mencari alternatif yang tepat dan efektif bagi angkutan berat itu.
Petinggi Organda memang sempat mengancam mogok. "Kalau mogok banyak yang dirugikan. Kami memberikan jaminan yang maksimal agar kemacetan di luar tol diminimalkan," katanya.
Biaya Kemacetan Rp46 Triliun
Aturan pembatasan kendaraan berat mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Sebab kemacetan di Ibukota sudah memusingkan warga. Sudah kronis. Bikin ekonomi biaya tinggi.
Dishub DKI Jakarta memperkirakan biaya kemacetan di Jakarta mencapai Rp46 triliun per tahun. Kerugian itu meliputi bahan bakar minyak (BBM), operasional kendaraan, time value, dan sejumlah variabel lain.
Sebuah penelitian lain dari Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP 2004) pernah menghitung bahwa kerugian akibat macet di DKI mencapai Rp8,3 triliun. Kerugian itu mencakup tiga aspek. Pertama, kerugian biaya operasi kendaraan Rp3 triliun. Kerugian waktu Rp2,5 triliun, dan dampak kesehatan akibat partikel PM10 sebesar Rp2,8 triliun.
Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) sepuluh tahun silam juga pernah menghitung pemborosan akibat kemacetan. Angka kerugian untuk mobil dalam satu tahun ditaksir sebesar Rp6,5 triliun sementara sepeda motor sekitar Rp8,2 triliun. Total kerugian Rp14,7 triliun per tahun. Ini asumsi minimal karena macet pada 2009 lebih parah tiga kali lipat dibandingkan 1998.
Selain itu, jika perkembangan kota dan sarana transportasi di DKI Jakarta dibiarkan berjalan tanpa terobosan kebijakan, maka pada 2014 Jakarta diperkirakan macet total. Begitu kendaraan keluar dari garasi, ia akan langsung lumpuh dalam antrean panjang kendaraan. Tidak bisa berkutik.
Gambaran ini dikemukakan oleh Japan International Corporation Agency (JICA) setelah melihat perkembangan penduduk, kendaraan dan sarana jalan di Jakarta.
Sejumlah kota di dunia juga memilih cara membatasi kendaraan berat masuk kota sebagai solusi mengatasi kemacetan. Jadi apa yang dilakukan oleh Jakarta itu bukanlah hal yang baru.
Seperti dikutip dari laman wikipedia, pembatasan penggunaan jalan tol mulai dipraktikan di Amerika Serikat (AS) tahun 1920. Langkah itu ditempuh karena pembangunan, produksi massal, membutuhkan kapasitas jalan yang lebih cepat dan besar.
Pembatasan jalan tol pertama kali dipraktikan di Parkway, salah satu kawasan di kota New York, AS. Pemicunya adalah ketika perusahaan Jerman, Autobahns, pada tahun 1930 mulai memperkenalkan standar desain jalan tol yang lebih tinggi sehingga membuat perusahaan kontruksi jalan tol mulai mengadopsi standar yang sama.
Jalan tol, The Pennsylvania Turnpike, yang sebagian besar mengikuti standar pembangunan jalan merupakan yang pertama beroperasi pada tahun 1940.
sumber : http://metro.vivanews.com/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar